Awalnya aku bangga menjadi anak pertama. Siapa yg gak kenal aku, boru panggoaran nya Bpk Leonardo Purba. Tetapi setelah hamper 16 tahun aku jadi anak paling besar, aku menemukan kejenuhan.
Disinilah aku ; tinggal terpisah dari kedua orangtua. Sekarang aku sedang berada di sebuah rumah petak kecil, lazim di sebut kost, di jalan Cucut, Pekanbaru.
Tepat pada hari ini, 21 Januari 2012, puncak kesabaranku telah habis teruji. Adik kandungku memang tinggal bersamaku. Selalu kami kelahi apabila tak ada satupun yg bisa mengalah. Tetapi hari ini, aku benar2 habis kesabaran.
Aku di lawan, di bantah, di caci maki, bahkan di sepelekan. jiwaku seperti terbakar api dan siap di lempar ke perapian agar semakin membara. Aku berdiri, melihat keluar kamar. Kembali ke dapur, lalu melihat tumpukan kain yg kian menggunung. Ku pilih satu per satu kain itu, lalu ku bawa ke kamar mandi.
Ya! Aku mencuci. Dengan nafas tersengal2, mata merah berair, bibir gemetar, menyimpan jutaan kekesalan yg siap ku utmpahkan, bunyi kucekan kain kian mengeras, tanganku berotasi tak karuan, suara ringkikan mulai terdengar dari faring hingga tenggorokan, air mata tak tertahan di pelupuk mata, batin bersorak, dan akhirnya, aku menangis…
Aku ingin teriak, teriak sekeras mungkin. Aku sudah tak tahan. Aku juga punya batas kesabaran. Jika aku sedang berada di situasi seperti ini, aku kacau. Aku benar2 sendiri. Walau aku punya banyak sahabat yg siap mendengarkan ceritaku, tapi aku tak segampang itu akan berbagi masalah, krna aku tak mau membebani mereka.
Aku capek. Capek sekali. Punya orangtua, tetapi jauh. Punya adik, tetapi pembangkang. Punya sahabat, tapi tak selalu mengerti. Sehingga aku selalu merasa sendiri. Sendiri di dunia yg ramai ini. Setiap aku mengadu pada orangtua, aku selalu di beratkan pada posisi orang yg salah. Aku selalu disalahkan. Aku dianggap kakak yg kurang baik krna tak bisa mengatasi masalah.
Air mataku terus mengalir, tak berhenti. Sesekali, kata2 keluar dr mulut ini,tetap dengan nada pilu dan getir tak terhingga. Aku ingin semua rang tahu, bahwa aku sedang bersedih. Tetapi itu tak mungkin.
Salahkan aku ingin dimengerti?
Hari ini aku benar2 tersudut. Kejiwaan ku semakin terganggu. Aku lebih suka memendam, lebih suka menutup diri. Aku sadar aku tak berguna, tapi tolong jgn sepelekan aku.
Aku memang kurang perhatian, kurang kasih sayang, kurang pujian. Aku jauh dr orang tua, jauh dr keluarga besar. Aku hanya tinggal di dalam segelintir orang ramai di tanah rantau ini. aku sangat berharap, orang2 disekitarku bisa mengerti bgm situasi bathinku. Bisa tau bgm perasaan seorang anak yg di tinggal jauh orang tua sedang dalam situasi kacau sperti ini.
Aku tak punya seorang yg bisa aku jadikan tempat aku selalu mengadu, tempat utk menangis, tempat utk berbagi. Aku lebih memillih duduk diam di sudut ruang, memejamkan mata, merenung, dan akhirnya menangis. Itu cukup membuatku tenang. Walau jiwa dan bathin ku berontak.
Tanganku masih gemetar, bibirku masih bergumam, mata kian memerah, wajah sudah berair, tangan makin ku kepalkan, dan akhirnya aku menangis lagi…
Aku tak bisa meluapkan emosi ku dgn cara yg benar. Aku segera duduk di depan computer kecil ini, segera mencari program Ms. Word, dan menumpahkan segala amarahku disini. Kejiwaanku benar2 sudah terusik. Aku masih haus akan kasih sayang, perhatian, dan pengertian.
Aku rela berjauh2an dr orang tua demi masa depanku. Tetapi bila aku selalu di lawan dan di tentang, semua inginku ini akan berakhir dgn sangat cepat. Aku tak mau semua usahaku ini sia2. Tak mau semua perjuanganku di negeri orang ini hanyak isapan jempol belaka. Aku ingin buktikan pada dunia, bahwa aku bisa. Tetapi bila begini terus, aku mati rasa…
Aku semakin tak pandai menyelesaikan masalah. Aku makin tak kuat menahan amarah. Aku berbeda.
Aku ingin jiwa mudaku benar2 tersalurkan. Bukan terhambat seperti ini. jiwa muda yg bepatroli mencari jati diri yg belum ku dapati. Jiwa muda yg benar2 berkembang dan dapat mjd apresiasi pembangkit hasrat diri.
Ini hanya se per sejuta dari semua beban hati yg ingin ku ceritaakan pada kalian. Tetapi cukuplah beban ini mjd tolak ukur bagis teman2 yg membacanya. Aku berharap, semua teman2 makin bersyukur atas apa yg telah di raih saat ini.
Aku tak ingin yg lain, hanya ingin kebebasan. Hanya ingin kemerdekaan diri. Aku paling muak bila setiap perkataanku di situs jejaring sosial ini disangkutpautkan dengan masa lalu. Benci sekali. Aku tak mau jatuh utk ke dua kali nya di lubang yg sama. Aku ingin bangkit.
Kain cucian itu ku remas, ku putar dgn kedua tangan, gigi menggeram, mata memerah, wajah memucat, kian membasah. Aku masih menangis…
From my deepest heart,
Rara